Search This Blog

PAHLAWAN/PIMPINAN DARI ACEH PIDIE

1.Teungku Chik di Tiro pada tahun 1881
2.Teungku Muhammad Daud Beureueh 1940
3.Teungku Hasan Muhammad di Tiro

4.Ibrahim Hasan
5.Dr.H.Zaini Abdullah



1.Teungku Chik di Tiro (Bahasa Aceh, artinya


Imam ulama di daerah Tiro) atau Muhammad
Saman (Tiro, Pidie, 1836 – Aneuk Galong, Aceh
Besar, Januari 1891), adalah seorang pahlawan
nasional dari Aceh.



Teungku Muhammad Saman adalah putra dari
Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya
bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh
Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada tahun 1836,
bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng
kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie,
Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama
yang ketat.
Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia
memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu
tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam
yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang
perjuangan para pemimpin tersebut dalam
berjuang melawan imperialisme dan
kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang
diyakininya, Muhammad Saman sanggup
berkorban apa saja baik harta benda,
kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya
agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan
dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih
dikenal dengan Perang Sabil.
Dengan perang sabilnya, satu persatu benteng
Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-
wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh
ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun
1881, pasukan Muhammad Saman dapat
merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk
Galong dan lain-lain. Belanda akhirnya terjepit di
sekitar kota Banda Aceh dengan
mempergunakan taktik lini konsentrasi
(concentratie stelsel) yaitu membuat benteng
yang mengelilingi wilayah yang masih
dikuasainya.


Teungku Chik di Tiro adalah tokoh yang kembali
menggairahkan Perang Aceh pada tahun 1881
setelah menurunnya kegiatan penyerangan
terhadap Belanda.[1] Bukti kehebatan beliau
dapat dilihat dari banyaknya pergantian gubernur
Belanda untuk Aceh semasa perjuangan beliau
(1881-1891) sebanyak 4 kali, yaitu:
Abraham Pruijs van der Hoeven (1881-1883)
Philip Franz Laging Tobias (1883-1884)
Henry Demmeni (1884-1886)
Henri Karel Frederik van Teijn (1886-1891)
Abraham Pruijs van der Hoeven (1881-1883)
Philip Franz Laging Tobias (1883-1884)
Henry Demmeni (1884-1886)
Henri Karel Frederik van Teijn (1886-1891)
Belanda yang merasa kewalahan akhirnya
memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan
yang sudah dibubuhi racun. Tanpa curiga
sedikitpun ia memakannya, dan akhirnya
Muhammad Saman meninggal pada bulan
Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.
Salah satu cucunya adalah Hasan di Tiro, pendiri
dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka.











2.Teungku Muhammad Daud Beureueh

adalah salah satu tokoh ulama besar
Aceh. Bersama ulama lain pada
zamannya, beliau berjuang
mengibarkan dan menegakkan panji-
panji Islam di bumi Aceh.
Sebagaimana yang pernah
dituturkannya kepada Boyd R.
Compton dalam sebuah wawancara,
"Anda harus tahu, kami di Aceh ini
punya sebuah impian. Kami
mendambakan masa kekuasaan
Sultan Iskandar Muda, pada masa
Aceh menjadi Negara Islam. Di zaman
itu, pemerintahan memiliki dua
cabang, sipil dan militer. Keduanya
didirikan dan dijalankan menurut
ajaran agama Islam. Pemerintahan
semacam itu mampu memenuhi
semua kebutuhan zaman moderen.
Sekarang ini kami ingin kembali ke
sistem pemerintahan semacam itu".
(Boyd R. Compton, Surat-Surat
Rahasia Boyd R. Compton, Jakarta:
LP3ES, 1995)
Siapakah Dia?
Teungku M. Daud Beureueh dilahirkan
pada 15 September 1899 di sebuah
kampung bernama "Beureueh", daerah
Keumangan, Kabupaten Aceh Pidie.
Kampung Beureueh adalah sebuah
kampung heroik Islam, sama seperti
kampung Tiro. Ayahnya seorang ulama
yang berpengaruh di kampungnya dan
mendapat gelar dari masyarakat setempat
dengan sebutan "Imeuem (imam)
Beureueh". Teungku Daud Beureueh
tumbuh dan besar di lingkungan religius
yang sangat ketat. Ia tumbuh dalam suatu
formative age yang sarat dengan nilai-nilai
Islam di mana hampir saban magrib
Hikayat Perang Sabil dikumandangkan di
setiap meunasah (masjid kampung). Ia
juga memasuki masa dewasa di bawah
bayang-bayang keulamaan ayahnya yang
sangat kuat mengilhami langkah hidupnya
kemudian.
Orang tuanya memberi nama Muhammad
Daud (dua nama Nabiyullah yang diberikan
kitab Alquran dan Zabur). Dari penamaan
ini sudah terlihat, sesungguhnya yang
diinginkan orang tuanya adalah bila besar
nanti ia mampu mengganti posisi dirinya
sebagai ulama sekaligus mujahid yang siap
membela Islam. Karena itu, pada masa-
masa usia sekolah, ayahnya tidak
memasukkan beliau ke lembaga pendidikan
resmi yang dibuat Belanda seperti:
Volkschool, Goverment Indlandsche
School, atau HIS. Namun lebih
mempercayakan kepada lembaga
pendidikan yang telah lama dibangun ketika
masa kerajaan Islam dahulu semodel
dayah/zawiyah. Yang menjiwai ayahnya
adalah semangat anti-Belanda/penjajah
yang masih sangat kuat. Apalagi ketika itu
Aceh masih dalam suasana perang di
mana gema Hikayat Perang Sabil masih
nyaring di telinga masyarakat Aceh.
Dalam pusat pendidikan semacam ini,
Daud ditempa dan dididik dalam
mempelajari tulis-baca huruf Arab,
pengetahuan agama Islam (seperti fikih,
hadis, tafsir, tasawuf, mantik, dsb),
pengetahuan tentang sejarah Islam,
termasuk sejarah tatanegara dalam dunia
Islam di masa lalu, serta ilmu-ilmu lainnya.
Dari latar belakang pendidikan yang
diperolehnya ini, tidak disangsikan lagi,
merupakan modal bagi keulamaannya
kelak.
Sekalipun tidak mendapatkan pendidikan
Belanda, namun dengan kecerdasan dan
kecepatannya berpikir, beliau mampu
menyerap segala ilmu yang diberikan
kepadanya itu, termasuk bahasa Belanda.
Kebiasaannya mengkonsumsi ikan, yang
merupakan kebiasaan masyarakat Aceh,
telah membuatnya menjadi quick-learner
(mampu belajar cepat).
Kemampuan yang luar biasa ini, sebagian
besar karena ia merasa menuntut ilmu
adalah wajib. Maka belajar tentang segala
sesuatu, dipersepsikannya hampir sama
dengan "mendirikan shalat". Dalam usia
yang sangat muda, 15 tahun, ia sudah
menguasai ilmu-ilmu Islam secara
mendalam dan mempraktekkannya secara
konsisten. Dengan segera pula ia menjadi
orator ulung, sebagai "singa podium." Ia
mencapai popularitas yang cukup luas
sebagai salah seorang ulama di Aceh.
Karena itu, beliau mendapat gelar
"Teungku di Beureueh" yang kemudian
orang tidak sering lagi menyebut nama asli
beliau, tetapi nama kampungnya saja.
Ketenaran seorang tokoh di Aceh
senantiasa melekat pada kharisma
kampungnya. Kampung adalah sebuah
entitas politik yang pengaruhnya ditandai
dengan tokoh-tokoh perlawanan. Dari
kenyataan ini, seorang yang terlahir dari
sebuah entitas resisten, tidak akan pernah
berhenti melawan sebelum cita-cita
tercapai. Kendatipun pihak lawan
menggunakan segala daya dan upaya
untuk membungkam perlawanan tersebut.
Dari PUSA Menuju Darul Islam
Untuk membungkam dan memadamkan
perlawanan Muslim Aceh, Belanda, atas
saran Snouk Hourgronje, melakukan
pengaburan konsep tauhid dan jihad.
Belanda membuat aturan pelarangan
berdirinya organisasi-organisasi politik
Islam. Restriksi ini membuat para ulama di
Aceh berang dan ingin mengadakan
pembaruan perjuangan melawan penjajah
Belanda. Maka atas inisiatif beberapa
ulama yang dipelopori oleh Teungku
Abdurrahman, dibentuk sebuah organisasi
yang bernama PUSA (Persatuan Ulama
Seluruh Aceh) di Matang Glumpang Dua.
Dalam kongres pembentukannya, dipilihlah
Teungku Muhammad Daud Beureueh
sebagai ketua. Aceh adalah negeri sejuta
ulama, dan mengetuai organisasi politik
ulama berarti juga secara de facto menjadi
"Bapak Orang-Orang Aceh".
Semenjak itu, Daud Beureuh memegang
peranan sangat penting di dalam
pergolakan-pergolakan di Aceh, dalam
mengejar cita-citanya menegakkan
keadilan di bumi Allah dengan dilandasi
ajaran syariat Islam. Sehingga, umat Islam
dapat hidup rukun, damai dan sentosa
sebagaimana yang dulu pernah diperbuat
oleh raja-raja Islam sebelum mereka.
Menurut catatan Compton, "M Daud
Beureueh berbicara tentang sebuah
Negara Islam untuk seluruh Indonesia, dan
bukan cuma untuk Aceh yang merdeka. Ia
meyakinkan, kemerdekaan beragama akan
dijamin di negara semacam itu, dengan
menekankan contoh mengenai toleransi
besar bagi penganut Kristen dalam negara-
negara Islam di Timur Dekat. Kaum Kristen
akan diberi kebebasan dan dilindungi
dalam negara Islam Indonesia, sedangkan
umat Islam tidak dapat merasakan
kemerdekaan sejati kalau mereka tidak
hidup dalam sebuah negara yang
didasarkan atas ajaran-ajaran Alquran."
Langkah awal dalam upaya itu adalah
mengusir segala jenis penjajahan yang
pernah dipraktekkan Belanda, Jepang, dan
zaman revolusi fisik (1945-1949) pada awal
kemerdekaan, maupun ketika Aceh berada
di bawah kekuasaan Orde Lama Soekarno
dan Orde Baru Soeharto. Sejak saat itulah,
Teungku Daud Beureueh diyakini oleh
orang-orang sebagai "Bapak Darul Islam".
Daud Beureueh dikenal luas sebagai
Gubernur Militer Aceh selama tahun-tahun
revolusi. Tetapi ketika jabatannya sebagai
Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah
Karo dicabut oleh PM Mohammad Natsir, ia
hidup tenang-tenang di desanya --
tampaknya seperti pensiun.
Setelah Aceh masuk ke dalam Republik
Indonesia Komunis (RIK) di bawah panji
Pancasila, Daud Beureueh diberi jabatan
Gubernur Kehormatan dan diminta
menetap di Jakarta sebagai penasihat di
Kementerian Dalam Negeri. Ia tidak
menerima penghormatan ini. Satu-satunya
tindakan pentingnya yang diketahui umum
adalah pada saat ia mengetuai
Musyawarah Ulama Medan, April 1951.
Setelah musyawarah itu, Daud Beureueh
melakukan tur singkat keliling Aceh,
memberikan ceramah-ceramah provokatif
bernada mendukung ide Negara Islam. Ia
kemudian kembali ke desanya, dan --
membuat takjub penduduk Medan yang
sudah maju-- membangun sebuah tembok
besar dan masjid sungguhan dengan
tangannya sendiri. Daud Beureueh lebih
tampak sebagai pensiunan perwira militer
ketimbang sebagai ahli agama, meskipun ia
menyandang gelar teungku.
Teungku Daud Beureueh adalah "Bapak
Orang-Orang Aceh" yang tetap tegar meski
dikecewakan oleh kaum fasiqun di Jakarta.
Dengan postur tubuhnya yang kurus tapi
kuat, ia adalah tipe manusia ideal.
Sebagaimana dicatat oleh Compton, dari
bawah pecinya, rambut kelabunya yang
dipangkas pendek kontras dengan
wajahnya yang muda dan coklat
kemerahan. Bicaranya lugas, bahkan
pernyataannya banyak yang blak-blakan.
Misal: "Saya tanya, apakah pemerintahan
seperti itu mampu mengatasi masalah-
masalah Aceh sekarang ini? Ya, ambillah
pengairan sebagai contoh. Pada zaman
Iskandar Muda, dibuat saluran dari sungai
yang jauhnya sebelas kilometer dari sini
menuju laut. Daerah Pidie menjadi sangat
makmur. Dibuat pula saluran lain tak jauh
dari yang pertama, keduanya dikerjakan
oleh ulama. Beda dengan ulama zaman
sekarang, pemimpin-pemimpin di masa itu
tak takut sarung mereka kena lumpur.
Sekarang saluran-saluran itu sudah rusak,
dan hasil panen padi merosot. Sebelum
terjadi perang, Aceh biasa mengekspor
beras untuk kebutuhan seluruh wilayah
Mardhatillah Sumatera Timur. Sekarang
kita mengimpor beras dari Burma".
Dalam impiannya, ia melihat sebuah Aceh
yang sejahtera di bawah pimpinan
kelompok ulama yang ditampilkan kembali.
Di masa keemasan itu, hanya orang-orang
yang benar-benar berpengetahuan yang
dapat menjadi ulama. Sedangkan di zaman
modern ini, hampir setiap orang dengan
bermodalkan "taplak meja dililitkan di leher"
bisa mengaku berhak untuk disebut ulama.
Daud Beureueh bicara dengan gelora dan
kesungguhan tentang perlunya pembaruan.
Setelah semua kemungkinan terbentuknya
sistem politik Islam sirna dan janji-janji
Soekarno akan menjadikan Indonesia
sebagai Negara Islam tidak pernah ditepati,
maka jiwa jihad Teungku Daud Beureueh
pun bergolak. Ia kemudian menjadikan
Aceh sebagai "Negara Bagian Aceh-Negara
Islam Indonesia" (NBA-NII) dan berjuang
hingga tahun 1964 di gunung-gemunung
Tanah Rencong. Soekarno, meskipun
terkenal hebat di mata orang-orang Aceh,
namun karena penipuannya terhadap
orang Aceh, nama Soekarno identik
dengan berhala yang harus ditumbangkan.
Compton bisa memahami mengapa orang-
orang membandingkan Daud Beureueh
dengan Soekarno yang cemerlang sebagai
orator massa. Seandainya keduanya
berpidato di sebuah acara yang sama,
konon Soekarno akan menjadi juara kedua
jika pendengarnya orang Aceh, terutama
kalau sang "Singa Aceh" sudah mulai gusar
dan marah.
Sementara ia terus bicara tentang
pemerintahan Islam di Aceh, Compton
merasa bahwa aneka kasak-kusuk yang ia
bawa dari Medan menjelang Pemilu 1955
telah sangat menyesatkannya. Ketika
Compton menanyakan apakah sikap ini tak
mengandung semacam kontradiksi,
Teungku Daud Beureueh menandaskan,
sebagai sebuah negara demokrasi,
Indonesia harus tunduk pada kehendak-
kehendak mayoritas Muslim. Ia yakin
partai-partai Islam akan menang besar
dalam sebuah pemilihan umum.
Daud Beureueh melihat ada tiga kelompok
di Indonesia dewasa ini: kaum komunis
yang menginginkan negara Marxis-ateistik,
umat Islam yang menghendaki Negara
Islam, dan golongan nasionalis tertentu
yang mau menghidupkan kembali
Hinduisme-Jawa (Negara Pancasila). Ia
cemas bahwa golongan Hindu dan Marxis
sedang mengakar, tapi mereka sendiri
khawatir kalau pemilihan umum diadakan,
sebab mereka pasti kalah. Karena alasan
ini, menurut Daud Beureueh, mereka akan
berusaha habis-habisan untuk menunda-
nunda pelaksanaan pemilu. Ketika itu
Teungku Daud Beureueh masih berharap
dengan Pemilu, namun setelah ia sendiri
terjungkal oleh seorang Perdana Menteri
yang merupakan output dari sistem pemilu,
ia kemudian melabuhkan harapan hanya
pada perjuangan fisik. Islam telah
dikalahkan secara diplomatis oleh
kemenangan-kemenangan Partai Islam
yang tidak memberi manfaat apapun bagi
asersi politik Islam.
Akibat sikapnya ini, Teungku Abu Daud
Beureueh kemudian dilumpuhkan secara
sistematis oleh Pemerintah Orde Baru. Ia
kemudian meninggal pada tahun 1987
dalam keadaan buta --buta yang disengaja
oleh Orde Baru-- dan dalam suatu prosesi
pemakaman yang sangat sederhana, tanpa
penghormatan yang layak dari orang-orang
Aceh yang sudah terkontaminasi oleh ide-
ide sekuler. R William Liddle yang sempat
menghadiri upacara pemakaman Teungku
Daud Beureueh menggambarkan
bagaimana mengenaskannya saat-saat
terakhir dan pemakaman pemimpin Aceh
yang terbesar di paruh kedua abad
keduapuluh. "Saya hadir di situ, antara lain,
sebagai ilmuwan sosial dan politik untuk
mengamati sebuah kejadian yang
bersejarah, yang mungkin akan
melambangkan sesuatu yang lebih besar
dan penting dari upacara pemakaman
biasa. Namun, --menurut penglihatan
Liddle sebagai pengamat asing-- dalam
kenyataannya, meninggalnya Teungku Abu
Daud Beureueh adalah "meninggalnya
seorang suami dan ayah yang dicintai,
seorang alim yang disegani, dan seorang
pemimpin masyarakat sekitar yang
dihormati." Tidak lebih dari itu. Seakan-
akan dan memang inilah kesimpulan Liddle
waktu itu bahwa zaman kepahlawanan
Teungku Abu Daud Beureueh telah berlalu,
hampir tanpa bekas. Bersamaan
berpulangnya "Bapak Orang-Orang Aceh",
maka Aceh kemudian memasuki babak
baru pembangunan dan modernisasi yang
gempita di mana kemaksiatan dan
sekulerisme adalah agama baru yang
disambut kalangan terpelajar perkotaannya
secara sangat antusias.



4.Teungku Hasan Muhammad di Tiro

(lahir di PidieAceh25 September1925 – meninggal di Banda Aceh3 Juni 2010 pada umur 84 tahun) adalah seorang tokoh pendiri Gerakan Aceh Merdeka, sebuah gerakan yang berusaha memperjuangkan kemerdekaan Aceh dari Indonesia. Gerakan tersebut resmi berdamai lewat perjanjian Helsinki pada 2005 dan melucuti senjata mereka. Hasan dianggap "wali", karena dia adalah keturunan ketiga Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro, pahlawan nasional Indonesia yang berperang melawan Belanda pada 1890an.[2][3]
Berasal dari sebuah keluarga terpadang,[4] dari desa Tiro di Kabupaten Pidie, di Tiro belajar di Yogyakarta dan melawan Belanda saatRevolusi Nasional Indonesia. Ia kemudian melanjutkan belajar di Amerika Serikat dan bekerja paruh waktu di Misi Indonesia untuk PBB. Saat belajar di New York pada 1953, ia mendeklarasikan dirinya sebagai "menteri luar negeri" untuk gerakan pemberontak Darul Islam,[5] yang di Aceh dipimpin Daud Beureueh. Karena aksi ini, ia dicabut kewarganegaraan Indonesia, menyebabkan dia dipenjara diPenjara Ellis Island sebagai warga asing ilegal[5] Pemberontakan Darul Islam di Aceh sendiri berakhir dengan perjanjian damai pada 1962.[6] Dibawah perjanjian damai, Aceh diberikan status otonomi.[7]


MENDIRIKAN GAM
Di Tiro kembali muncul di Aceh pada tahun 1974, di mana ia mengajukan tawaran untuk kontrak pipa di pabrik gas baru Mobil Oil yang akan dibangun di daerah Lhokseumawe. Dia dikalahkan oleh Bechtel, dalam proses tender di mana di Tiro berpikir pemerintah pusat memiliki terlalu banyak kontrol terhadap gas di Aceh.[8] Ada klaim yang menyatakan bahwa, sebagai akibat dari kerugian dan kematian saudaranya karena apa yang ia dianggap sebagai kelalaian yang disengaja oleh dokter dari etnis Jawa, di Tiro mulai mengorganisir gerakan separatis menggunakan kenalan lamanya di Darul Islam.


Dia menyatakan organisasinya sebagai Front Pembebasan Nasional Aceh Sumatera, lebih dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdekapada tanggal 4 Desember 1976. Di antara tujuannya adalah kemerdekaan penuh Aceh dari Indonesia. Di Tiro memilih kemerdekaan sebagai salah satu tujuan GAM, bukan otonomi khusus daerah, karena fokus pada sejarah Aceh sebelum masa kolonial Belanda sebagai sebuah negara merdeka. GAM berbeda dari pemberontakan Darul Islam yang berusaha untuk menggulingkan ideologiPancasila yang sekuler dan menciptakan negara Islam Indonesia berdasarkan syariah. Dalam "Deklarasi Kemerdekaan", ia mempertanyakan hak Indonesia untuk berdiri sebagai negara, karena pada asalnya itu adalah negara multi-budaya berdasarkan kekaisaran kolonial Belanda dan terdiri dari negara-negara sebelumnya yang terdiri atas banyak sekali etnis dengan sedikit kesamaan. Dengan demikian, di Tiro percaya bahwa rakyat Aceh harus memulihkan keadaan pra-kolonial Aceh sebagai negara merdeka dan harus terpisah dari negara "penipu", yaitu Indonesia.[9]


Karena fokus baru pada sejarah Aceh dan identitas etnik yang berbeda, beberapa kegiatan GAM melibatkan serangan terhadap paratransmigran, terutama mereka yang bekerja dengan tentara Indonesia, dalam upaya untuk mengembalikan tanah Aceh untuk masyarakat Aceh. Transmigran etnis Jawa di antara mereka yang paling sering menjadi target, karena banyak diantara mereka yang berhubungan dekat mereka dengan tentara Indonesia. Prinsip militer GAM, bagaimanapun, melibatkan serangan gerilya terhadap tentara dan polisi Indonesia.


Pada tahun 1977, setelah memimpin serangan GAM di mana salah satu insinyur Amerika Serikat tewas dan satu insinyur Amerika lain dan satu insinyur Korea Selatan terluka,[3][5] Hasan diburu oleh militer Indonesia. Ia ditembak di kaki dalam sebuah penyergapan militer, dan melarikan diri ke Malaysia.[5][10]


Dari tahun 1980, di Tiro tinggal di StockholmSwedia dan memiliki kewarganegaraan Swedia.[2][11] Selama periode ini Zaini Abdullah, yang menjadi gubernur Aceh pada Juni 2012, adalah salah satu rekan Aceh terdekatnya di Swedia. Setelah tsunami pada bulan Desember 2004, GAM dan pemerintah Indonesia setuju untuk menandatangani perjanjian damai yang ditandatangani di Helsinki,Finlandia pada Agustus 2005. Menurut ketentuan perjanjian perdamaian, yang diterima oleh pimpinan politik GAM dan disahkan oleh di Tiro, Aceh mendapat status otonomi yang lebih besar. Tak lama setelah itu, sebuah Undang-Undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh disahkan oleh parlemen nasional di Jakarta untuk mendukung pelaksanaan perjanjian damai. Pada bulan Oktober 2008, setelah 30 tahun pengasingan, di Tiro kembali ke Aceh.


Selama konflik, pada tiga kesempatan terpisah pemerintah Indonesia keliru menyatakan bahwa Hasan di Tiro telah meninggal.[12]
KEMBALI KE ACEH


Pada 11 Oktober 2008, setelah 30 tahun, dia kembali ke Banda Aceh.[13][14] Masalah kesehatannya membuatnya tak berperan aktif dalam percaturan politik Aceh selanjutnya. Dia kembali ke Swedia dua pekan berikutnya.[15]


Setahun kemudian, ia kembali ke Aceh, [16] dan bertahan di sana sampai kematiannya.[17] Pada 2 Juni 2010, Hasan dianugerahi status warga negara oleh pemerintah Indonesia.[18]. Hari berikutnya, ia wafat di rumah sakit di Banda Aceh.[19]



4.Ibrahim hasan

Ibrahim Hassan (lahir di Lampoh WengPidieNanggroe Aceh Darussalam16 Maret 1935 – meninggal diJakarta20 Januari 2007 pada umur 71 tahun) adalah salah satu mantan Menteri Negara Urusan Pangan/Kabulog dan Gubernur Aceh periode 1986 - 1993. Ia juga pernah menjabat sebagai rektorUniversitas Syiah Kuala periode 1973 dan 1982.

5.Dr.H.Zaini Abdullah
Bagi orang Aceh, nama Dr. Zaini Abdullah sudah tak asing lagi. Mantan Mentri Luar Negeri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini diusung oleh Partai Aceh—partai mayoritas di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)—bersama wakilnya, Muzakir Manaf, mantan Panglima GAM yang kini menjabat sebagai Ketua Partai Aceh.
Dr. Zaini lahir di Beureunun, Kabupaten Pidie pada 24 April 1940 silam. Ayahnya, Tgk. H. Abdullah Hanafiah tokoh kharismatik di wilayah itu. Selain sebagai seorang ulama, beliau juga ikut serta dalam gerakan DI/TII bersama Daud Beureueh, republikan asal Aceh yang kemudian memimpin pemberontakan pembebasan DI/TII.
Di kemudian hari, jalur perjuangan Tgk. H. Abdullah Hanafiah itu dilanjutkan oleh Dr. Zaini Abdullah. Pada tahun 1976, DR Tgk H Hasan Muhammad Tiro memproklamirkan GAM. Dr Zaini yang saat itu berstatus sebagai dokter langsung bergabung dalam barisan perjuangan yang menentang kesewenang-wenangan pemerintah pusat terhadap Aceh.
Keterlibatan Dr. Zaini tak terlepas dari dari kecintaanya kepada Aceh. Konsep pembebasan dan mensejahterakan rakyat Aceh yang diusung Wali Nanggroe Hasan di Tiro begitu melekat dalam jiwanya.
Dalam masa-masa perjuangan bersama GAM, tentu saja, ada begitu banyak rintangan dan cobaan yang dihadapi.  Bersama para pejuang-pejuangan GAM lainnya, ia terus diburu. Foto-foto Dr. Zaini disebar hingga ke pelosok-pelosok desa. Tak ada jalan lain selain bergeriliya ke hutan-hutan. Berhari-hari, minggu, hingga berbulan-bulan. Namun aparat keaman tak sama sekali tak berhasil mengendus keberadaan Dr. Zaini. Semua itu tak terlepas dari peran masyarakat di sekitarnya yang menutup keberadaan Dr. Zaini.
Tahun 1981, Dr. Zaini memilih untuk hijrah ke luar negeri. Selain karena kondisi Aceh semakin tak kondosif akibat operasi militer yang digelar pemerintah RI di Aceh, kepergiannya ke luar negeri juga bagian dari membangun diplomasi internasional, mengkampanyekan kesewenang-wenangan pemerintah RI di Aceh.
Pada suatu malam di tahun 1981, bersama beberapa rekan seperjuangan lainnya Dr. Zaini berangkat ke Medan melalui jalan darat. Dari Medan, perjalanan kemudian dilanjutkan ke Singapura menggunakan boat nelayan. Perjalanan menempuh waktu tiga hari tiga malam. Dihembus angin laut, dibakar terik matahari.
Usai melalui perjalanan yang melelahkan itu, Dr. Zaini tiba di sebuah pelabuhan di Negara Singapura. Saat itu, sedang dilakukan pembangunan pelabuhan yang pekerjanya terdiri dari orang India dan Sri Langka, mereka berkulit hitam. Untungnya, kondisi Dr Zaini dan rekan-rekannya yang lusuh dan hitam legam tak membuat polisi Negara Singapura curiga. Mereka dikira pekerja pelabuhan.
Dari sana, Dr Zaini melanjutkan perjalanan menuju rumah Perdana Mentri GAM, Malik Mahmud di Bukit Timah. Selama lima hari di sana, ia berangkat menuju Swedia dengan menggunakan paspor Palang Merah Internasional. Seorang warga India yang bekerja di UNHCR saat itu berbaik hati mengurusi segala keperluan keberangkatan Dr. Zaini ke Swedia.
Tiba di Swedia, suasana sedang musim gugur. Dr. Zaini di tempat di tempat pengungsian di Revieden, 100 kilometer kota Stockholm, Ibukota Swedia. Selama satu bulan ia berada di sana.
Keinginan Dr. Zaini untuk menjadi dokter tetap dipertahankan meski beliau telah di Swedia. Sebelumnya, ia harus belajar bahasa Swedia di Universitas Upsula, dengan tugas utama belajar bahasa bahasa kedokteran. Usai menyelesaikan pendidikan bahasa dan pendidikan kedokteran, Dr. Zaini mendapat ijazah dokter dan bekerja paruh waktu di salah satu rumah Swedia. Tempat kerja itu berjarak 80 kilimoter dari kediamannya.
Dari tahun 1990-1995, Dr Zaini kembali menempuh pendidikan dokter spesialis keluarga. Biaya pendidikan ditanggung oleh Loan, dan biaya itu harus diganti selesai kuliah dari hasil kerja.
Profesi dokter memang telah menjadi bagian hidup Dr. Zaini. Di tengah sejumlah kerja-kerja perjuangan untuk Aceh, ia terus menjalani profesi sebagai seorang dokter dengan ikhlas. Tak jarang, tugas-tugas kedokterannya sering berbenturan dengan tugas-tugas perjuangan. Semua itu diselesaikan dengan lancar. Diplomasi dengan dunia internasional pun terus dilakukan.
Pada tahun 2002, perundingan pertama antara pemerintah RI dengan GAM dilakukan di Tokyo. Dr. Zaini terlibat langsung dalam perundingan itu. Namun perundingan gagal. Pemerintah Indonesia berusaha memasukkan GAM sebagai salah satu organisasi teroris. Berkat diplomasi dan lobi-lobi yang dilakukan tokoh-tokoh GAM di Swedia, usaha itu gagal total.
Pada 15 Agustus 2005, Memorandum of Understanding (MoU) antara GAM dengan pemerintah RI diteken. Tak lama setelah itu, Dr. Zaini kembali ke Aceh, ia masih bercita-cita melanjutkan perjuangan, mensejahterakan rakyat Aceh. “Orang Aceh harus bekerja giat membangun masa depan Aceh, dan sanggup bersaing di tingkat internasional.”
GAM kini tak lagi mengangkat senjata. Perjuangan dilakukan dengan jalan politik lewat Partai Aceh (PA). Pada Pemilihan Kepala Daearah (Pilkada) mendatang, Dr. Zaini Abdullah diusung sebagai Calon Gubernur (Cagub), bersama pasangannya, mantan Panglima GAM, Muzakir Manaf sebagai Calon Wakil Gubernur (Cawagub).[]

Biodata Singkat
Nama lengkap:
Dr. ZAINI ABDULLAH
Alamat Tempat Tinggal:
Darul Aman, Desa Rapana, Jl. Tangse km 1, Teureubue,  Beureunuen  
Tempat dan tanggal lahir:
Sigli, 24 April  1940
Profesi:
Dokter
Kewargenegaraan:
Indonesia
Nama Istri:
Niazah A. Hamid
Nama Anak:  
-   Niza Ratna Zaini
-    Hasnita Zahra Zaini
-    Sri Wahyuni Zaini

Riwayat Pendidikan:
-    Sekolah Rakyat di Beureunuen – Aceh (1947-1952)
-    Sekolah Menengah Pertama Sigli – Aceh (1953-1957)
-    Sekolah Menengah Atas Kutaraja/Banda Aceh – Aceh (1957-1960)
-    Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (1960-1972)
-    Pendidikan Spesialis dalam Bidang Penyakit Kandungan dan Kebidanan pada Universitas Sumatera Utara (USU) - RSU Pirngadi - Medan (1975-1977)
-    Pendidikan Spesialis ‘Family Doctor’ di Karolinska Universitets Sjukhus Huddinge,  Stockholm – Swedia (1990-1995)

Riwayat Pekerjaan:
-    Kepala Puskesmas/Kepala Rumah Sakit Umum Kuala Simpang–Aceh Timur  (1972-1975)
-    Aktif sebagai dokter di sejumlah Rumah Sakit di Swedia (1982-2005)
-    Pensiun dan bekerja sebagai Konsultan Kesehatan dan dokter di Rumah Sakit Umum dan Health Centre di Swedia (2005-2009)

Pengalaman dalam Organisasi dan Perdamaian
-    Leadership Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sekaligus Anggota Delegasi GAM dalam proses perdamaian Pertama dengan Pemerintah Republik Indonesia (RI) pada Tahun 2000-2003 di Genewa – Swiss.
-    Leadership Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sekaligus anggota Delegasi GAM dalam Perundingan Antara GAM dan Pemerintah Republik Indonesia di Helsinki-Finlandia tahun 2005 yang menghasilkan Kesepakatan Damai Bersama (MoU) Helsinki 15 Agustus 2005. 





0 Response to "PAHLAWAN/PIMPINAN DARI ACEH PIDIE"

Post a Comment